Friday, April 04, 2014

Bayi Tabung

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak dan keturunan yang sah dan bersih nasabnya, yang dihasilkan dengan cara yang wajar dari pasangan suami istri.
Namun tidak semua pasangan suami istri bisa mempunyai keturunan sebagaimana yang diharapkan karena ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang istri tidak dapat mengandung, baik yang datang dari pihak suami maupun istri itu sendiri.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini para ilmuan telah menemukan suatu cara untuk medapatkan keturunan dari pasangan suami istri yang mengalami mandul, yaitu dengan menggunakan teknologi bayi tabung. Dan yang menjadi masalah pada teknologi bayi tabung ini adalah apakah Islam membolehkan teknologi bayi tabung ini atau tidak, jika dibolehkan apa alasannya dan begitu juga sebaliknya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada pembahasan ini adalah bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan bayi tabung, dan apa hukum menggunakan bayi tabung dalam pandangan hukum Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bayi Tabung
In vitro vertilization (IVF) atau yang lebih dikenal dengan sebutan bayi tabung adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas atau tabung gelas, dan vertilization berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembuahan, sehingga dikenal dengan sebutan bayi tabung.
Dan pengertian bayi tabung menurut M.Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul Masail Fiqhiyah Al-Haditsah adalah bayi yang didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran.[1]
Sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknologi kedokteran dan biologi yang canggih, maka teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan bertakwa, dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa merusak nilai-nilai agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat yang negatif lainnya yang tidak terbayangkan. Sebab apa yang bisa dihasilkan dengan teknologi, belum tentu bisa diterima dengan baik oleh agama, etika, dan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini terbukti dengan timbulnya kasus bayi tabung di Amerika Serikat, dimana ibu titipannya bernama Mary Beth Whitehead di meja hijaukan, karena tidak mau menyerahkan bayinya kepada keluarga William Stern sesuai dengan kontrak, akhirnya mahkamah agung memutuskan, keluarga Mary harus menyerahkan bayi tabungnya kepada keluarga William sesuai dengan kontrak yang dianggap sah menurut hukum disana.[2]
Ada beberapa teknik penghamilan buatan yang telah dikembangkan di dunia kedokteran, antara lain:
a.    Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, lalu ditransfer ke rahim istri.
b.    Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, setelah dicampur dan terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba pallopi).
Banyak orang sebenarnya memiliki sperma atau ovum yang cukup subur, tetapi justru tidak dapat membuahi atau di buahi, karena ada kelainan pada alat kelaminnya (alat reproduksinya). Misalnya seorang wanita yang tersumbat saluran sel-sel telurnya, dan proses evolusinya tidak normal atau gerakan sperma laki-laki tidak dapat menjangakau (mati sebelum bertemu dengan ovum wanita), maka tidak akan terjadi pertemuan (percampuran) antara dua sel ketika melakukan coitus (senggama).
Dan jika kasus ini terjadi maka dokter ahli dapat mengupayakan dengan mengambil sel telur wanita dan dipadukan dengan sel sperma laki-laki. Perpaduan kedua sel tersebut lalu disimpan dalam cawan pembiakan selama beberapa hari, dan inilah yang disebut dengan bayi tabung, yaitu jabang bayi yang akan diletakkan ke dalam rahim seorang ibu dengan cara menggunakan alat seperti suntikan.[3]

B.     Bayi Tabung Dari Pasangan Suami Isteri yang Sah
Dalam kehidupan modern ini ada kemungkinan seorang istri itu hamil bukan melalui hubungan kelamin, tetapi melalui cara suntikan dan operasi, sehingga benih laki-laki itu ditempatkan ke dalam rahim istri sehingga dia menjadi hamil.
Untuk menjalani proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim, perlu disediakan ovum (sel telur) dan sperma. Ovum di ambil dari tuba fallopi (kandung telur) seorang istri dan sperma di ambil dari ejakulasi seorang suami. Sperma tersebut di periksa terlebih dahulu apakah mengandung benih yang memenuhi persyaratan atau tidak. Begitu juga dengan sel telur seorang istri, dokter berusaha menentukan dengan tepat saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur), dan memeriksa apakah terdapat sel telur yang masak atau tidak pada saat ovulasi tersebut. Apabila pada saat ovulasi terdapat sel-sel yang  benar-benar masak, maka sel telur itu dihisap dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut. Sel telur itu kemudian di letakkan di dalam sebuah tabung kimia, dan agar telur tetap dalam keadaan hidup, sel telur tersebut disimpan di laboratorium yang diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita.
Kedua sel kelamin tersebut (sel telur dan sperma) dibiarkan bercampur dalam tabung sehingga terjadilah fertilasi. Zygota yang dihasilkan berkembang dalam medium yang terdapat dalam tabung reaksi, sehingga menjadi morulla. Morulla yang terbentuk melalui teknik embrio ditransfer ke rahim seorang istri, sehingga ia menjadi hamil.
Adapun proses bayi tabung melalui sperma suami yang sah, baik dengan cara mengambil sperma suami lalu di suntikkan kedalam rahim atau uterus istri, maupun dengan pembuahan yang dilakukan di luar rahim, maka hal ini dibolehkan asal keadaan suami dan istri tersebut benar-benar membutuhkan untuk memperoleh keturunan, dan hal ini disepakati oleh para ulama.

C.    Bayi Tabung Dengan Donor Sperma
Bayi tabung dengan donor sperma adalah proses pembuatan bayi tabung yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan menggunakan sperma orang lain yang bukan suaminya secara sah menurut Islam.
Masalah bayi tabung ini telah banyak dibicarakan di kalangan Islam dan di luar Islam, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Misalnya majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980, yaitu mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma. Lembaga Fiqih Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengadakan sidang di Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik bayi tabung, dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma dan ovum donor.
Proses bayi tabung dengan menggunakan donor sperma dan ovum ini lebih banyak mendatangkan mudharat dari pada maslahah. Adapun mudharatnya antara lain adalah:
a.    Terjadinya percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian atau kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan warisan.
b.    Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
c.    Pembuahan dengan cara donor sperma ini sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dan ovum wanita tanpa pekawinan yang sah.
d.   Kehadiran anak hasil bayi tabung dengan donor sperma bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tangga.[4]

D.    Bayi Tabung Dengan Rahim Yang Di Sewa
Masalah sewa rahim ini sebenarnya telah dibahas dalam sebuah seminar yang diadakan oleh organisasi Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait, yang di ikuti oleh para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran. Setelah membahas dan mempelajari masalah tersebut, mereka sepakat untuk mengeluarkan fatwa, yakni suami dan istri atau salah satu dari keduanya dianjurkan untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, demi membantu mereka dalam mewujudkan kelahiran anak. Namun disyaratkan spermanya harus milik suami dan sel telurnya harus milik istri, tidak ada pihak ketiga diantara mereka.
Jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitu pula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik istri, tetapi rahimnya milik wanita lain maka inipun tidak diperbolehkan. Cara ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan sebuah pertanyaan yang membingungkan, “siapakah ibu dari bayi tersebut, apakah perempuan pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, atau perempuan yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?”
Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika seandainya hal ini terjadi, maka di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu bayi tersebut adalah perempuan pemilik sel telur, dan ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah perempuan yang mengandung dan melahirkannya, dan pendapat ini memakai dalil yaitu firman Allah S.W.T sebagai berikut:

اِنْ اُمَّـهـتُـهُـمْ اِلَّا الّئِيْ وَلَـدْ نَـهُـمْ
Artinya:
“Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka”.
Jadi, semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya. Jika ada sebagian wanita yang mendapat cobaan dari Allah dengan tidak bisa menghasilkan sel telur, maka mereka seperti halnya para wanita yang tidak memiliki rahim. Demikian pula dengan laki-laki yang di beri cobaan oleh Allah dengan tidak bisa menghasilkan sperma atau menghasilkan tetapi mati atau menyerupai mati, dan ini merupakan cobaan dari Allah yaitu berupa kemandulan, sebagaimana dalam firman Allah S.W.T di dalam Al-Qura’an yaitu:

°! ہù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ß,è=øƒs $tB âä!$t±o 4 Ü=pku `yJÏ9 âä!$t±o $ZW»tRÎ) Ü=ygtƒur `yJÏ9 âä!$t±o uqä.%!$# ÇÍÒÈ ÷rr& öNßgã_Íirtム$ZR#tø.èŒ $ZW»tRÎ)ur ( ã@yèøgsur `tB âä!$t±o $¸JÉ)tã 4 ¼çm¯RÎ) ÒOŠÎ=tæ ֍ƒÏs% ÇÎÉÈ
Artinya:
“ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syuura: 49-50)
Jadi, ada sebagian orang atas kehendak Allah terlahir dalam keadaan mandul. Kehendak-Nya ini tidak bisa ditolak dan tidak bisa di obati, yang bisa dilakukan oleh mereka hanya bersabar dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Dalam kondisi seperti ini, mereka bisa menunaikan kewajiban sebagai seorang ibu dan ayah di panti-panti asuhan atau tempat pemeliharaan anak hilang. Apalagi melakukan hal seperti ini akan mendapatkan pahala yang melimpah dari Allah S.W.T.[5]

E.     Pandangan Islam Terhadap Teknologi Bayi Tabung
Ilmu pengetahuan modern selalu membawa dampak positif bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai kemanusiaan, tetapi tidak boleh melupakan sisi negatifnya. Disinilah peran agama untuk membatasi dampak negatif perkembangan teknologi. Seperti fenomena bayi tabung yang di proses melalui inseminasi buatan. Di satu sisi proses itu dapat menolong suami-istri yang mandul, dilain pihak bisa diselewengkan.
Pada zaman Imam-imam Mazhab, masalah bayi tabung tentu saja belum muncul sehingga tidak ditemukan fatwa mereka. Tetapi, kalau mengkaji masalah ini dari segi hukum Islam, seseorang harus menggunakan metode ijtihad agar sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur'an dan sunah. Untuk itu diperlukan informasi yang cukup tentang teknik dan proses terjadinya bayi tabung dari para ahli ilmu kedokteran maupun biologi.
Sebenarnya wajar saja apabila pasangan suami istri yang mandul berusaha dengan segala daya upaya serta kemampuannya yang ada, agar dapat memperoleh anak, mengingat begitu pentingnya anak, baik bagi kesenangan duniawi maupun sebagai salah satu simpanan untuk hari akhirat kelak.
Berkat kemajuan teknologi yang canggih, khususnya di bidang kedokteran, maka telah ditemukan cara penghamilan buatan dan bayi tabung, yang dilakukan secara ilmiah dan mudah dilaksanakan sebagai salah satu alternatif bagi pasangan yang mandul.
Sebelum sampai kepada pembahasan pandangan Islam terhadap pelaksanaan bayi tabung ini, maka ada baiknya di kemukakan contoh-contoh yang terjadi dalam masyarakat.
Disini terdapat beberapa kasus yang dikemukakan oleh Nurul Kawakib dalam tabloid Salam terbitan november 1998:
a.    Kasus yang pertama.
Perempuan A ingin punya anak, tetapi karena ada kelainan pada saluran telurnya, maka dia tidak dapat mengandung. Perempuan A itu pergi bersama suaminya kepada seorang dokter untuk minta bantuan, supaya dia mendapatkan anak. Dokter menempuh jalan dengan cara pembuahan di luar rahim. Setelah terjadi pembuahan, benih itu dimasukkan kedalam rahimnya dan ternyata dia hamil dan kemudian melahirkan.
b.    Kasus yang kedua.
Perempuan B berharap menjadi ibu rumah tangga dan punya anak, tetapi dia merasa repot karena mengandung dan takut merasakan kesakitan pada saat melahirkan. Jalan yang ditempuhnya adalah, menitipkan benih yang sudah jadi (bayi tabung) kepada perempuan lain (ibu pinjaman). Akhirnya ibu pinjaman mengandung dan melahirkan. Kemudian bayi yang lahir diserahkan kepada perempuan B.
c.    Kasus yang ketiga.
Perempuan C kawin dengan seseorang, sesudah beberapa tahun kawin, ternyata tidak dikaruniakan anak, karena suaminya mandul. Sesudah ada kata sepakat dengan suaminya, Perempuan C memperoleh bantuan dari seorang donor, dengan cara bayi tabung.
d.   Kasus yang keempat.
Perempuan D ingin mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri padahal dia belum menikah dan tidak ingin menikah. Maka dia  menggunakan sperma donor dengan memakai teknik bayi tabung dan keinginannya tercapai dalam keadaan masih belum bersuami.
e.    Kasus kelima.
Perempuan E hidupnya sangat susah dan suaminya sakit dan harapan untuk sembuh tidak mungkin lagi. Sebelum suaminya meninggal, dia meminta suaminya itu mewariskan spermanya untuk diwariskan dengan tujuan ingin menggunakan sperma itu untuk membuat dia hamil. Sperma itu disimpan dengan baik, supaya tetap normal. Kemudian sperma itu disuntikkan kedalam rahimnya, ternyata dia bisa hamil dan melahirkan setelah beberapa tahun sepeninggal suaminya.
Dan kasus-kasus diatas mungkin pernah terjadi di Indonesia, walaupun tidak semuanya yang pernah terjadi. Dan kasus pertama dapat dibenarkan oleh Islam karena sperma dan ovum dari proses bayi tabung itu berasal dari pasangan suami yang sah menurut Islam. Sedangkan kasus kedua sampai kasus kelima itu tidak dibenarkan dalam Islam.
Bayi tabung dari segi hukum Islam harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad. Ulama yang melaksanakan ijtihad tentang masalah ini tentu memerlukan informasi yang cukup tentang teknik dan proses terjadinya bayi tabung dari cendikiawan Muslim yang ahli dalam bidang studi yang relevan dengan masalah ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli biologi. Dengan pengkajian secara multidisipliner ini, dapat ditemukan hukumnya yang proporsional dan mendasar.
Bayi tabung atau inseminasi buatan itu apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan yang dilakukan di luar rahim kemudian buahnya ditanam di dalam rahim istri, dengan syarat kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara pembuahan atau penghamilan buatan untuk memperoleh anak, dan hal ini di sebabkan karena apabila dengan cara pembuahan alami suami istri tersebut tidak berhasil memperoleh anak.
Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqih Islam:

اَلْـحَـاجَـةُ تَـنْـزِلُ مَـنْـزِلَـةَ الضَّـرُوْرَةِ وَالضَّـرُوْرَةُ تُـبِـيْـحُ المَـحْـظُـوْرَاتِ.
Artinya:
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Padahal keadaan darurat itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.
Sedangkan, proses bayi tabung yang dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi). Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil pembuahan tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Dan adapun dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk mengharamkan pembuahan dengan donor sperma atau ovum ini ialah Q.S: Al-Isra, ayat 70:

ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Artinya:
“ Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (Q.S: Al-Isra ayat 70)
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknya proses bayi tabung dengan menggunakan donor sperma itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity).
Dan dalil dari hadits Nabi yang mengharamkan proses bayi tabung ini dengan bantuan donor sperma adalah:

لَا يَحِـلُّ لِامْـرِ ئٍ يُـؤْ مِـنُ بِـاللهِ وَالْـيَـوْمِ الْاخِـرِ اَنْ يَـسْـقِـي مَـاءَهُ زَرْعَ غَـيْـرِهِ .
Artinya:
Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (rahim istri orang lain). H.R. Abu Daud, Al-Tirmidzi dan Hadits ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban.
Dan berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang bisa dipakai dalam masalah pelarangan donor sperma atau ovum ini adalah:

دَ رْءُ الْـمَـفَـا سِـدِ مُـقَـدَّ مٌ عَـلَي جَـلْـبِ الْـمَـصَـا لِـحِ .
Artinya:
Menghindari Mudharat (bahaya) harus didahulukan atas mencari atau menarik maslahah (kebaikan).
Jadi, bayi tabung dengan donor sperma dan ovum itu lebih banyak mendatangkan mudharat dari pada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya mandul atau ada hambatan alami pada suami atau istri yang menghalangi sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya terlalu sempit atau ejakulasinya terlalu lemah. Namun mudharat dari donor sperma dan ovum pada bayi tabung ini akan berpengaruh negatif terhadap kejiwaan orang yang bersangkutan, yaitu:
a.    Bagi suami yang sah, kehadiran anak itu akan mengganggu pikirannya. Suami dari istri yang melakukan bayi tabung itu akan merasa lemah dan kerdil, jika anak tersebut dapat tumbuh dan berparas cantik, sebab dia tidak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa anak itu bukanlah anak dari darah dagingnya sendiri.
b.    Bagi istri yang telah menimang seorang bayi mungil, pada umumnya akan semakin mencintai suaminya, karena telah memberinya anak yang sangat di dambakan oleh setiap perempuan. Akan tetapi masalahnya adalah anak tersebut adalah anak hasil pembuahan buatan yang bukan berasal dari suaminya, akan tetapi dari sperma orang lain yang ia donorkan.
c.    Bagi anak hasil dari bayi tabung itu, secara naluri secara cepat atau lambat akan merasakan ada ketidakberesan pada dirinya, dan jika ia mengetahuinya maka ia akan mengalami kegoncangan jiwa yang lebih hebat dari yang di alami oleh anak pungut.
d.   Kehadiran anak hasil bayi tabung dengan bantuan donor sperma bisa menjadi sumber konflik, karena anak ini bisa menjadi sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat, fisik dan karakternya dengan bapak atau ibunya.
e.    Bayi tabung lahir tanpa proses kasih sayang yang alami (natural), terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa:
a.    Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.    Teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain, Itu hukumnya haram. Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.
c.    Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia itupun hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan.
d.   Proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya berasal dari pasangan suami-istri yang tidak sah, MUI secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina.[6]
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung diantaranya adalah:
a.     Apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah S.A.W bersabda:
"Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya."
b.    Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113:
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang."
c.     Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, majelis Tarjih dan Tajdid mengungkapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan para ahli fiqih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang diwakili Muhammadiyah, hukum inseminasi buatan seperti itu termasuk yang dilarang.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.    Proses bayi tabung dengan sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri dan tidak di transfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan) maka diperbolehkan dalam Islam, jika keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya.
2.    Proses bayi tabung dengan sperma atau ovum donor diharamkan dalam Islam, hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
B.     Saran
Adapun rekomendasi pada pembahasan ini adalah pemerintah hendaknya hanya mengizinkan dan melayani permintaan bayi tabung dengan sel sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan tanpa ditransfer ke dalam rahim wanita lain.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Mahjudin, Masail Fiqhiyah - Berbagai Kasus yang di Hadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah - Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997.
M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah - Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual - Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer - Jilid 3, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.


[1] M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah - Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 70.
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah - Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1997, h. 20.
[3] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah - Berbagai Kasus Yang di Hadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 11.
[4] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual - Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, h. 191.
[5] Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer-Jilid 3, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 660.
[6] http://www.scribd.com/doc/86452176/Apa-Hukum-Bayi-Tabung-Menurut-Islam.