BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak dan keturunan yang sah
dan bersih nasabnya, yang dihasilkan dengan cara yang wajar dari pasangan suami
istri.
Namun
tidak semua pasangan suami istri bisa mempunyai keturunan sebagaimana yang
diharapkan karena ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang istri tidak
dapat mengandung, baik yang datang dari pihak suami maupun istri itu sendiri.
Akan
tetapi pada zaman sekarang ini para ilmuan telah menemukan suatu cara untuk
medapatkan keturunan dari pasangan suami istri yang mengalami mandul, yaitu
dengan menggunakan teknologi bayi tabung. Dan yang menjadi masalah pada
teknologi bayi tabung ini adalah apakah Islam membolehkan teknologi bayi tabung
ini atau tidak, jika dibolehkan apa alasannya dan begitu juga sebaliknya.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah pada pembahasan ini adalah bisa mengetahui apa yang dimaksud
dengan bayi tabung, dan apa hukum menggunakan bayi tabung dalam pandangan hukum
Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bayi Tabung
In
vitro vertilization (IVF) atau yang lebih dikenal dengan sebutan bayi tabung
adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro
adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas atau tabung gelas, dan vertilization
berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembuahan, sehingga dikenal dengan sebutan
bayi tabung.
Dan
pengertian bayi tabung menurut M.Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul Masail
Fiqhiyah Al-Haditsah adalah bayi yang didapatkan melalui proses pembuahan yang
dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan
dengan bantuan ilmu kedokteran.[1]
Sebagai
akibat kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknologi kedokteran dan biologi
yang canggih, maka teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau
teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan
bertakwa, dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa merusak
nilai-nilai agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat yang negatif
lainnya yang tidak terbayangkan. Sebab apa yang bisa dihasilkan dengan
teknologi, belum tentu bisa diterima dengan baik oleh agama, etika, dan hukum
yang hidup di masyarakat. Hal ini terbukti dengan timbulnya kasus bayi tabung
di Amerika Serikat, dimana ibu titipannya bernama Mary Beth Whitehead di meja
hijaukan, karena tidak mau menyerahkan bayinya kepada keluarga William Stern
sesuai dengan kontrak, akhirnya mahkamah agung memutuskan, keluarga Mary harus
menyerahkan bayi tabungnya kepada keluarga William sesuai dengan kontrak yang
dianggap sah menurut hukum disana.[2]
Ada
beberapa teknik penghamilan buatan yang telah dikembangkan di dunia kedokteran,
antara lain:
a.
Fertilazation
in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, lalu
ditransfer ke rahim istri.
b.
Gamet Intra
Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, setelah
dicampur dan terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba
pallopi).
Banyak orang sebenarnya memiliki sperma atau ovum yang cukup subur,
tetapi justru tidak dapat membuahi atau di buahi, karena ada kelainan pada alat
kelaminnya (alat reproduksinya). Misalnya seorang wanita yang tersumbat saluran
sel-sel telurnya, dan proses evolusinya tidak normal atau gerakan sperma laki-laki
tidak dapat menjangakau (mati sebelum bertemu dengan ovum wanita), maka tidak
akan terjadi pertemuan (percampuran) antara dua sel ketika melakukan coitus
(senggama).
Dan jika kasus ini terjadi maka dokter ahli dapat mengupayakan dengan
mengambil sel telur wanita dan dipadukan dengan sel sperma laki-laki. Perpaduan
kedua sel tersebut lalu disimpan dalam cawan pembiakan selama beberapa hari,
dan inilah yang disebut dengan bayi tabung, yaitu jabang bayi yang akan
diletakkan ke dalam rahim seorang ibu dengan cara menggunakan alat seperti
suntikan.[3]
B.
Bayi
Tabung Dari Pasangan Suami Isteri yang Sah
Dalam
kehidupan modern ini ada kemungkinan seorang istri itu hamil bukan melalui
hubungan kelamin, tetapi melalui cara suntikan dan operasi, sehingga benih
laki-laki itu ditempatkan ke dalam rahim istri sehingga dia menjadi hamil.
Untuk
menjalani proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim, perlu disediakan ovum
(sel telur) dan sperma. Ovum di ambil dari tuba fallopi (kandung telur) seorang
istri dan sperma di ambil dari ejakulasi seorang suami. Sperma tersebut di periksa
terlebih dahulu apakah mengandung benih yang memenuhi persyaratan atau tidak.
Begitu juga dengan sel telur seorang istri, dokter berusaha menentukan dengan
tepat saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur), dan memeriksa
apakah terdapat sel telur yang masak atau tidak pada saat ovulasi tersebut.
Apabila pada saat ovulasi terdapat sel-sel yang
benar-benar masak, maka sel telur itu dihisap dengan sejenis jarum
suntik melalui sayatan pada perut. Sel telur itu kemudian di letakkan di dalam
sebuah tabung kimia, dan agar telur tetap dalam keadaan hidup, sel telur
tersebut disimpan di laboratorium yang diberi suhu menyamai panas badan seorang
wanita.
Kedua
sel kelamin tersebut (sel telur dan sperma) dibiarkan bercampur dalam tabung
sehingga terjadilah fertilasi. Zygota yang dihasilkan berkembang dalam medium
yang terdapat dalam tabung reaksi, sehingga menjadi morulla. Morulla yang
terbentuk melalui teknik embrio ditransfer ke rahim seorang istri, sehingga ia
menjadi hamil.
Adapun
proses bayi tabung melalui sperma suami yang sah, baik dengan cara mengambil
sperma suami lalu di suntikkan kedalam rahim atau uterus istri, maupun dengan
pembuahan yang dilakukan di luar rahim, maka hal ini dibolehkan asal keadaan
suami dan istri tersebut benar-benar membutuhkan untuk memperoleh keturunan,
dan hal ini disepakati oleh para ulama.
C.
Bayi
Tabung Dengan Donor Sperma
Bayi
tabung dengan donor sperma adalah proses pembuatan bayi tabung yang dilakukan
oleh seorang perempuan dengan menggunakan sperma orang lain yang bukan suaminya
secara sah menurut Islam.
Masalah
bayi tabung ini telah banyak dibicarakan di kalangan Islam dan di luar Islam,
baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Misalnya majelis Tarjih
Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980, yaitu mengharamkan bayi tabung
dengan donor sperma. Lembaga Fiqih Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam)
mengadakan sidang di Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik bayi
tabung, dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma dan ovum donor.
Proses
bayi tabung dengan menggunakan donor sperma dan ovum ini lebih banyak
mendatangkan mudharat dari pada maslahah. Adapun mudharatnya antara lain
adalah:
a.
Terjadinya
percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian atau kehormatan
kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman
dan warisan.
b.
Bertentangan
dengan sunnatullah atau hukum alam.
c.
Pembuahan
dengan cara donor sperma ini sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran
sperma pria dan ovum wanita tanpa pekawinan yang sah.
d.
Kehadiran
anak hasil bayi tabung dengan donor sperma bisa menjadi sumber konflik dalam
rumah tangga.[4]
D.
Bayi
Tabung Dengan Rahim Yang Di Sewa
Masalah sewa rahim ini sebenarnya telah dibahas dalam sebuah seminar
yang diadakan oleh organisasi Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait, yang
di ikuti oleh para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran. Setelah membahas
dan mempelajari masalah tersebut, mereka sepakat untuk mengeluarkan fatwa,
yakni suami dan istri atau salah satu dari keduanya dianjurkan untuk
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, demi membantu mereka dalam mewujudkan
kelahiran anak. Namun disyaratkan spermanya harus milik suami dan sel telurnya
harus milik istri, tidak ada pihak ketiga diantara mereka.
Jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak,
maka ini diharamkan. Begitu pula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau
sel telur milik istri, tetapi rahimnya milik wanita lain maka inipun tidak
diperbolehkan. Cara ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan sebuah
pertanyaan yang membingungkan, “siapakah ibu dari bayi tersebut, apakah perempuan
pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, atau perempuan yang
menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?”
Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika seandainya hal ini
terjadi, maka di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu bayi tersebut
adalah perempuan pemilik sel telur, dan ada juga yang berpendapat bahwa ibunya
adalah perempuan yang mengandung dan melahirkannya, dan pendapat ini memakai
dalil yaitu firman Allah S.W.T sebagai berikut:
اِنْ اُمَّـهـتُـهُـمْ اِلَّا الّئِيْ وَلَـدْ نَـهُـمْ
Artinya:
“Ibu-ibu
mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka”.
Jadi, semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai
bentuknya. Jika ada sebagian wanita yang mendapat cobaan dari Allah dengan
tidak bisa menghasilkan sel telur, maka mereka seperti halnya para wanita yang
tidak memiliki rahim. Demikian pula dengan laki-laki yang di beri cobaan oleh
Allah dengan tidak bisa menghasilkan sperma atau menghasilkan tetapi mati atau
menyerupai mati, dan ini merupakan cobaan dari Allah yaitu berupa kemandulan,
sebagaimana dalam firman Allah S.W.T di dalam Al-Qura’an yaitu:
°! Ûù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ß,è=øs $tB âä!$t±o 4 Ü=pku `yJÏ9 âä!$t±o $ZW»tRÎ) Ü=ygtur `yJÏ9 âä!$t±o uqä.%!$# ÇÍÒÈ ÷rr& öNßgã_Íirtã $ZR#tø.è $ZW»tRÎ)ur ( ã@yèøgsur `tB âä!$t±o $¸JÉ)tã 4 ¼çm¯RÎ) ÒOÎ=tæ ÖÏs% ÇÎÉÈ
Artinya:
“ Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan
kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan
Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syuura: 49-50)
Jadi, ada sebagian orang atas kehendak Allah terlahir dalam keadaan
mandul. Kehendak-Nya ini tidak bisa ditolak dan tidak bisa di obati, yang bisa
dilakukan oleh mereka hanya bersabar dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Dalam
kondisi seperti ini, mereka bisa menunaikan kewajiban sebagai seorang ibu dan
ayah di panti-panti asuhan atau tempat pemeliharaan anak hilang. Apalagi
melakukan hal seperti ini akan mendapatkan pahala yang melimpah dari Allah
S.W.T.[5]
E.
Pandangan
Islam Terhadap Teknologi Bayi Tabung
Ilmu pengetahuan modern selalu membawa dampak positif bagi tumbuh
kembangnya nilai-nilai kemanusiaan, tetapi tidak boleh melupakan sisi negatifnya.
Disinilah peran agama untuk membatasi dampak negatif perkembangan teknologi.
Seperti fenomena bayi tabung yang di proses melalui inseminasi buatan. Di satu
sisi proses itu dapat menolong suami-istri yang mandul, dilain pihak bisa
diselewengkan.
Pada zaman Imam-imam Mazhab, masalah bayi tabung tentu saja belum
muncul sehingga tidak ditemukan fatwa mereka. Tetapi, kalau mengkaji masalah
ini dari segi hukum Islam, seseorang harus menggunakan metode ijtihad agar
sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur'an dan sunah. Untuk itu diperlukan
informasi yang cukup tentang teknik dan proses terjadinya bayi tabung dari para
ahli ilmu kedokteran maupun biologi.
Sebenarnya wajar saja apabila pasangan suami istri yang mandul berusaha
dengan segala daya upaya serta kemampuannya yang ada, agar dapat memperoleh
anak, mengingat begitu pentingnya anak, baik bagi kesenangan duniawi maupun
sebagai salah satu simpanan untuk hari akhirat kelak.
Berkat
kemajuan teknologi yang canggih, khususnya di bidang kedokteran, maka telah
ditemukan cara penghamilan buatan dan bayi tabung, yang dilakukan secara ilmiah
dan mudah dilaksanakan sebagai salah satu alternatif bagi pasangan yang mandul.
Sebelum
sampai kepada pembahasan pandangan Islam terhadap pelaksanaan bayi tabung ini,
maka ada baiknya di kemukakan contoh-contoh yang terjadi dalam masyarakat.
Disini
terdapat beberapa kasus yang dikemukakan oleh Nurul Kawakib dalam tabloid Salam
terbitan november 1998:
a.
Kasus yang pertama.
Perempuan A ingin
punya anak, tetapi karena ada kelainan pada saluran telurnya, maka dia tidak
dapat mengandung. Perempuan A itu pergi bersama suaminya kepada seorang dokter
untuk minta bantuan, supaya dia mendapatkan anak. Dokter menempuh jalan dengan
cara pembuahan di luar rahim. Setelah terjadi pembuahan, benih itu dimasukkan
kedalam rahimnya dan ternyata dia hamil dan kemudian melahirkan.
b.
Kasus yang
kedua.
Perempuan B
berharap menjadi ibu rumah tangga dan punya anak, tetapi dia merasa repot
karena mengandung dan takut merasakan kesakitan pada saat melahirkan. Jalan
yang ditempuhnya adalah, menitipkan benih yang sudah jadi (bayi tabung) kepada
perempuan lain (ibu pinjaman). Akhirnya ibu pinjaman mengandung dan melahirkan.
Kemudian bayi yang lahir diserahkan kepada perempuan B.
c.
Kasus yang
ketiga.
Perempuan C kawin
dengan seseorang, sesudah beberapa tahun kawin, ternyata tidak dikaruniakan
anak, karena suaminya mandul. Sesudah ada kata sepakat dengan suaminya,
Perempuan C memperoleh bantuan dari seorang donor, dengan cara bayi tabung.
d.
Kasus yang
keempat.
Perempuan D ingin
mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri padahal dia belum menikah dan tidak
ingin menikah. Maka dia menggunakan
sperma donor dengan memakai teknik bayi tabung dan keinginannya tercapai dalam
keadaan masih belum bersuami.
e.
Kasus kelima.
Perempuan E
hidupnya sangat susah dan suaminya sakit dan harapan untuk sembuh tidak mungkin
lagi. Sebelum suaminya meninggal, dia meminta suaminya itu mewariskan spermanya
untuk diwariskan dengan tujuan ingin menggunakan sperma itu untuk membuat dia
hamil. Sperma itu disimpan dengan baik, supaya tetap normal. Kemudian sperma
itu disuntikkan kedalam rahimnya, ternyata dia bisa hamil dan melahirkan
setelah beberapa tahun sepeninggal suaminya.
Dan
kasus-kasus diatas mungkin pernah terjadi di Indonesia, walaupun tidak semuanya
yang pernah terjadi. Dan kasus pertama dapat dibenarkan oleh Islam karena
sperma dan ovum dari proses bayi tabung itu berasal dari pasangan suami yang
sah menurut Islam. Sedangkan kasus kedua sampai kasus kelima itu tidak
dibenarkan dalam Islam.
Bayi
tabung dari segi hukum Islam harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang
lazim dipakai oleh para ahli ijtihad. Ulama yang melaksanakan ijtihad tentang
masalah ini tentu memerlukan informasi yang cukup tentang teknik dan proses
terjadinya bayi tabung dari cendikiawan Muslim yang ahli dalam bidang studi yang
relevan dengan masalah ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli biologi. Dengan
pengkajian secara multidisipliner ini, dapat ditemukan hukumnya yang
proporsional dan mendasar.
Bayi
tabung atau inseminasi buatan itu apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum
suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain
maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian
disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan
yang dilakukan di luar rahim kemudian buahnya ditanam di dalam rahim istri,
dengan syarat kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara
pembuahan atau penghamilan buatan untuk memperoleh anak, dan hal ini di
sebabkan karena apabila dengan cara pembuahan alami suami istri tersebut tidak
berhasil memperoleh anak.
Hal ini sesuai
dengan kaidah hukum fiqih Islam:
اَلْـحَـاجَـةُ تَـنْـزِلُ مَـنْـزِلَـةَ الضَّـرُوْرَةِ
وَالضَّـرُوْرَةُ تُـبِـيْـحُ المَـحْـظُـوْرَاتِ.
Artinya:
Hajat (kebutuhan
yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa
(emergency). Padahal keadaan darurat itu membolehkan melakukan hal-hal yang
terlarang.
Sedangkan,
proses bayi tabung yang dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka
diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi). Dan sebagai akibat
hukumnya, anak hasil pembuahan tersebut tidak sah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Dan
adapun dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk mengharamkan
pembuahan dengan donor sperma atau ovum ini ialah Q.S: Al-Isra, ayat 70:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Artinya:
“ Dan sesungguhnya
telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.” (Q.S: Al-Isra ayat 70)
Ayat
ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan dan keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan
lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya
manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati martabat
sesama manusia. Sebaliknya proses bayi tabung dengan menggunakan donor sperma
itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity).
Dan dalil dari
hadits Nabi yang mengharamkan proses bayi tabung ini dengan bantuan donor
sperma adalah:
لَا يَحِـلُّ لِامْـرِ ئٍ يُـؤْ مِـنُ بِـاللهِ وَالْـيَـوْمِ
الْاخِـرِ اَنْ يَـسْـقِـي مَـاءَهُ زَرْعَ غَـيْـرِهِ .
Artinya:
Tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma)
pada tanaman orang lain (rahim istri orang lain). H.R. Abu Daud, Al-Tirmidzi
dan Hadits ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban.
Dan
berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang bisa dipakai dalam masalah pelarangan
donor sperma atau ovum ini adalah:
دَ رْءُ الْـمَـفَـا سِـدِ مُـقَـدَّ مٌ عَـلَي جَـلْـبِ
الْـمَـصَـا لِـحِ .
Artinya:
Menghindari
Mudharat (bahaya) harus didahulukan atas mencari atau menarik maslahah
(kebaikan).
Jadi,
bayi tabung dengan donor sperma dan ovum itu lebih banyak mendatangkan mudharat
dari pada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri
yang keduanya atau salah satunya mandul atau ada hambatan alami pada suami atau
istri yang menghalangi sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran
telurnya terlalu sempit atau ejakulasinya terlalu lemah. Namun mudharat dari
donor sperma dan ovum pada bayi tabung ini akan berpengaruh negatif terhadap
kejiwaan orang yang bersangkutan, yaitu:
a.
Bagi suami
yang sah, kehadiran anak itu akan mengganggu pikirannya. Suami dari istri yang
melakukan bayi tabung itu akan merasa lemah dan kerdil, jika anak tersebut
dapat tumbuh dan berparas cantik, sebab dia tidak dapat membohongi dirinya
sendiri, bahwa anak itu bukanlah anak dari darah dagingnya sendiri.
b.
Bagi istri
yang telah menimang seorang bayi mungil, pada umumnya akan semakin mencintai
suaminya, karena telah memberinya anak yang sangat di dambakan oleh setiap
perempuan. Akan tetapi masalahnya adalah anak tersebut adalah anak hasil
pembuahan buatan yang bukan berasal dari suaminya, akan tetapi dari sperma
orang lain yang ia donorkan.
c.
Bagi anak
hasil dari bayi tabung itu, secara naluri secara cepat atau lambat akan
merasakan ada ketidakberesan pada dirinya, dan jika ia mengetahuinya maka ia
akan mengalami kegoncangan jiwa yang lebih hebat dari yang di alami oleh anak
pungut.
d.
Kehadiran
anak hasil bayi tabung dengan bantuan donor sperma bisa menjadi sumber konflik,
karena anak ini bisa menjadi sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan
sifat, fisik dan karakternya dengan bapak atau ibunya.
e.
Bayi tabung
lahir tanpa proses kasih sayang yang alami (natural), terutama bagi bayi tabung
lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri
yang punya benihnya.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa:
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan
suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang
berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b. Teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang
dititipkan di rahim perempuan lain, Itu hukumnya haram. Para ulama menegaskan,
di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan warisan.
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang
telah meninggal dunia itupun hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab
maupun dalam hal kewarisan.
d. Proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya berasal
dari pasangan suami-istri yang tidak sah, MUI secara tegas menyatakan hal
tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin
antar lawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina.[6]
Nahdlatul
Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas
Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada tiga keputusan yang
ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung diantaranya adalah:
a.
Apabila
mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan
mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan
pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah S.A.W bersabda:
"Tidak
ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di
dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya."
b.
Apabila
sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya
tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'.
Terkait mani yang dikeluarkan secara
muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113:
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang."
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang."
c.
Apabila
mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk
muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung
menjadi mubah (boleh).
Meski
tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya menitipkan sperma
suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, majelis Tarjih dan Tajdid
mengungkapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan para ahli fiqih dari berbagai
pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang diwakili Muhammadiyah, hukum
inseminasi buatan seperti itu termasuk yang dilarang.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Proses bayi
tabung dengan sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri dan tidak di
transfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan) maka diperbolehkan
dalam Islam, jika keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar
memerlukannya.
2.
Proses bayi
tabung dengan sperma atau ovum donor diharamkan dalam Islam, hukumnya sama
dengan zina dan anak yang lahir dari hasil bayi tabung ini statusnya sama
dengan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
B.
Saran
Adapun
rekomendasi pada pembahasan ini adalah pemerintah hendaknya hanya mengizinkan
dan melayani permintaan bayi tabung dengan sel sperma dan ovum suami istri yang
bersangkutan tanpa ditransfer ke dalam rahim wanita lain.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Mahjudin, Masail Fiqhiyah - Berbagai Kasus yang di Hadapi
Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah - Kapita Selekta Hukum
Islam, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997.
M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah - Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual - Jawaban Tuntas
Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer - Jilid 3,
Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
[1] M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah - Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 70.
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah - Kapita Selekta Hukum Islam,
Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1997, h. 20.
[3] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah - Berbagai Kasus Yang di Hadapi Hukum
Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 11.
[4] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual - Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, h. 191.
[5] Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer-Jilid 3, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, h. 660.